Senin, 02 Januari 2012

SEMINGGU DI JAKARTA

SEMINGGU DI JAKARTA


Naik kereta…

Ini adalah pengalaman gue waktu ke Jakarta akhir tahun 2006 kemaren. Sebenarnya sih mendadak karena tiba-tiba gue dapat telpon dari Jakarta yang mengharapkan kehadiran gue untuk interview pada hari senin. Rupanya telpon itu dari salah satu perusahaan di Jakarta dimana gue melamar. Awalnya sih ragu, karena tidak ada persiapan. Apalagi esoknya adalah hari pertama bulan ramadhan. Tapi akhirnya gue nekat juga. Ya itung-itung pengalaman lah.

Untuk ke Jakarta gue pilih sarana transportasi yang paling cepat dan murah. Apalagi kalo bukan kereta api. Itu tuh, alat transportasi yang bentuknya mirip ular, terbuat dari besi dan ditarik oleh lokomotif. Kalo berjalan bunyinya, jes…jes…jess… (sekadar informasi kalo ada yang belum tau). Gue naik kereta api eksekutif Jayabaya dan pilih jadwal keberangkatan yang paling malam. Sengaja, biar ntar sampai Jakarta nggak kepagian. Kasian yang jemput.

Naik kereta api sebenarnya bukan hal aneh buat gue. Tapi ini adalah pengalaman pertamaku naik kereta api eksekutif. Sebelumnya gue pernah merasakan naik kereta api ekonomi, bisnis, dan juga kereta api Pramex yang melayani rute Yogya – Solo. Kereta api kelas bisnis cukup nyaman, begitu juga dengan pramex. Tapi untuk kereta api kelas ekonomi, ampun dah, kalo nggak mau dibilang ancur. Naik kereta api ekonomi kudu hati-hati dengan barang bawaan karena banyaknya copet yang merajalela. Pengamennya, buju buneng…tiap lima menit pasti adaaa aja. Repotnya tuh kalo ada bencong yang ngamen, udah suaranya kayak petasan banting, pake nyolek-nyolek lagi. Belum lagi penumpangnya yang beraneka rupa, komplit dengan bau tubuh yang aneh-aneh. Masih syukur nggak ada yang bawa kambing atau kebo’. Bayangkan kalo ada kebo’ masuk gerbong. Bisa kena undang-undang asusila karena dikira kumpul kebo (maksudnya kumpul ama kebo’). Apalagi kalau perjalanan malam, penumpang yang tidak kebagian kursi tidur dengan cueknya di lantai gerbong, hanya beralas koran. Bayangkan bila dalam keadaan ngantuk dan anda tiba-tiba ingin ke toilet. Bisa nginjek kaki atau mungkin kepala orang kalo gak hati-hati.Pokoknya ancur deh, makanya ada yang bilang kereta api kelas ekonomi tuh sama aja dengan kelas kambing. Percuma pake parfum satu jerigen. Kalo udah naik KA ekonomi, keluar-keluar paling nggak jauh beda ama bau kambing.

suasana di dalam KA Ekonomi. 
suasana di dalam KA Eksekutif
Beda KA ekonomi, beda pula KA eksekutif. Tempat duduknya nyaman, bisa selonjor, ada pramugarinya (siapa bilang pramugari cuman ada di pesawat). Dan yang paling asyik lagi ada televisinya. Lumayan buat hiburan selama perjalanan. Kalo gue bilang sih ini lebih baik daripada pesawat kelas ekonomi. Biarpun tiketnya lebih mahal dan memang sih lebih cepat, tapi nggak ada televisinya. Udah gitu dengkul kaki gue pasti mentok ama kursi depan, jadi nggak bisa selonjor. Hiburannya juga paling cuman ngeliatin awan di luar jendela ama sesekali ngelirik mbak-mbak pramugari yang cakep-cakep itu.Tapi sayang kenyamanan di dalam KA eksekutif ini ternyata tidak berlangsung lama. Ketika sedang asyik membaca tiba-tiba gue melihat dua ekor anak tikus yang sedang berlarian di dalam gerbong. Busyet, baru kali ini gue ngeliat ada tikus di dalam kereta, apalagi kereta eksekutif. Yah, mungkin beginilah gambaran sarana transportasi di negeri kita ini. Alhasil semalaman gue tidur dengan kaki ditekuk di atas kursi, takut digigit tikus.

Kereta tiba di stasiun Jatinegara Jakarta pukul 7 lebih sedikit. Terlambat satu jam dari jadwal. Di stasiun sudah menunggu saudara yang menjemput dan kami pun langsung berangkat menuju bekasi. Di sanalah saya akan menginap selama di Jakarta.  


Macet…oh macet!

Welcome to Jakarta! Kota sejuta harapan dan impian. Kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Yah itulah yang terngiang di kepala gue sewaktu tiba di Jakarta. Sebenarnya ini bukan kali pertama gue menginjakkan kaki di Jakarta. Sekitar dua tahun yang lalu gue juga pernah ke sini bareng rombongan temen-temen satu jurusan dalam rangka kuliah kunjungan lapangan. Tapi itupun tidak lama, hanya tiga hari. Gak sempet muter-muter.

Banyak sekali pengalaman yang gue dapat selama di Jakarta. Pagi-pagi sekali gue sudah harus bangun. Bagi gue yang jam bangun tidurnya adalah pukul 10, keharusan untuk bangun jam 4 pagi adalah sebuah penyiksaan. Rasanya lebih mudah untuk mengangkat barbell seberat 50 kg daripada mengangkat kedua kelopak mata. Bangun, shalat, mandi, dan langsung cabut. Naik omprengan menuju Jakarta. Tadinya gue pikir omporengan tuh sejenis mikrolet  yang sudah uzur. Ternyata yang disebut omprengan adalah mobil pribadi yang dijadikan angkutan bagi masyarakat. Sejenis taksi gelap lah. Lumayan nyaman dan ada AC nya. Bisa dikatakan mereka yang naik omprengan in adalah karyawan yang bekerja di Jakarta. Sedangkan mereka sendiri tinggal di luar Jakarta seperti Bekasi, Tanggerang, Depok, bahkan Bogor.

Lama perjalanan dari bekasi ke Jakarta naik omprengan ini gue hitung-hitung sekitar dua jam. Ongkosnya 9000 rupiah per orang dan dibayar langsung ke sopirnya. Lumayan mahal tapi dijamin berhenti di depan tempat kerja. Jadi gak perlu repot-repot ganti angkutan umum. Sepanjang perjalanan biasanya para penumpang lebih senang melanjutkan mimpi mereka yang tertunda. Enaknya naik omprengan yaitu bisa masuk tol, jadi notabene lebih cepat (harusnya). Kenyataannya mobil berjalan perlahan keluar masuk tol yang naudzubilah macetnya. Gimana nggak macet. Bayangkan kalo setiap hari orang-orang yang tinggal di luar Jakarta masuk ke kota Jakarta pada waktu yang bersamaan dan melewati ruas jalan yang sama. Ruarr biasa macet!
macet gila!

Padahal waktu tempuh yang dibutuhkan dari bekasi ke Jakarta lewat jalan tol pada saat akhir pekan tidak sampai 30 menit. Bayangkan dengan hari biasa yang bisa sampai dua jam bahkan lebih. Jakarta pada akhir pekan memang sepi karena biasanya orang-orang pergi ke luar kota. Pada saat inilah kita bisa menikmati suasana kota Jakarta tanpa pusing dengan kemacetan.

Kata kakak sepupu gue, Jakarta macet itu biasa. Tapi kalo sepi dan lancar baru luar biasa. Rasa-rasanya ungkapan ini benar. Orang Jakarta sudah terbiasa dengan kemacetan. Teman gue pernah bilang, “Kalo hidup di Jakarta bisa-bisa kita tua di jalan.” Dari 24 jam sehari, hampir 20% waktu kita habiskan di tengah jalan yang macet, padat dan merayap. Jalan tol yang katanya jalan bebas hambatan pun tidak luput dari kemacetan. Kalo kata kakak sepupu gue TOL itu sebenarnya singkatan dari Tetep Ora Lancar.

Perjalanan berangkat sebenarnya belum apa-apa. Perjalan pulang lebih luar biasa lagi. Orang Jakarta biasa pulang kantor sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Saat itulah terjadi penumpukan di berbagai terminal. Mereka yang menggunakan angkutan umum harus rela antri menunggu angkutan. Gue pernah ngantri selama satu jam lebih di terminal busway Harmony, nungguin busway yang menuju Pulo Gadung. Bener-bener suatu perjuangan. Sedangkan mereka yang menggunakan mobil pribadi pun harus sabar bermacet ria di jalanan ibu kota. Bayangkan gue pulang jam 3 sore sampai rumah di bekasi jam 7 malam. Ini termasuk cepat. Kalo sial sampai rumah bisa sampai jam 9 malam. Rasanya seperti mau muntah.


Ndeso…

Seumur hidup gue, belum pernah naik ke gedung yang tingginya lebih dari 10 lantai. Di Jayapura, gedung yang paling tinggi tuh gedung Bank Papua yang tingginya tujuh lantai. Di Jogja juga perasaan nggak ada gedung yang tingginya lebih dari delapan lantai. Dan itu pun masih bisa dihitung dengan jari. Tapi di Jakarta ini gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan angkuhnya, sebuah lambang prestise dari kota yang dijuluki megapolitan. Di kanan dan kiri jalan berjejer gedung-gedung bertingkat yang bisa bikin leher terkilir kalo ngeliat.

Satu hal gue ucapkan dalam hati sejak dalam perjalanan tadi, “stay cool dan ojo kayak wong ndeso.” Pokoknya tetap tenang dan jangan udik kayak orang desa yang baru turun gunung. Di depan pintu masuk gedung yang berlantai 46 ini sudah menyambut petugas kemanan yang bertampang beringas dan memeriksa satu demi satu pengunjung yang melewati detector logam. Persis kayak di bandara.

Dengan langkah tenang dan pasti gue berjalan menuju lift yang akan membawa gue ke lantai 21, tempat interview berlangsung. Naik lift mah bukan hal aneh buat gue. Tapi alangkah terkejutnya gue ketika mengetahui tombol liftnya cuman sampai lantai 10. “Kemana sisanya? Perasaan nih gedung lebih dari sepuluh tingkat?” usut punya usut ternyata di Jakarta, gedung yang memiliki tingkat lebih dari 10 lantai biasanya membagi liftnya menjadi beberapa lantai. Jadi untuk lift A itu dari lantai basement sampai lantai 10. Lift B dari lantai 11 sampai 20. Dan begitu seterusnya. Oo…. Baru mudeng gue.

Satu kali setelah selesai training yang menjemukan gue pingin shalat dhuhur di masjid dekat lapangan parkir depan gedung. Mencet tombol lift, dan begitu pintu terbuka langsung nyelonong masuk. Di dalam lift cuman ada gue dan seorang bapak. Gue heran juga kenapa hanya gue yang masuk, padahal tadi ada banyak orang juga yang mau turun ke bawah. Pintu tertutup dan gue mencet tombol lantai satu. Gak ada reaksi. Mencet lagi. Tetep gak ada reaksi. Lampu indikator tidak menyala. Apa tombolnya rusak ya? Bapak yang berdiri di samping gue nyeletuk, “Lift nya ke atas mas.” Oo, jawab gue dengan tetap memasang tampang cool. Pantes aja orang-orang tadi tidak ikut masuk, bathin gue. Gue salah masuk lift.

Penyakit orang yang tidak biasa naik lift adalah kepala terasa pening karena efek gaya tariknya. Sesekali sih nggak papa. Tapi dalam sehari gue bisa tiga sampai empat kali naik turun lift dari lantai satu ke lantai duapuluhsatu. Isi perut rasanya sudah sampai ke rongga mulut. Gue salut ama orang Jakarta, mereka keliatan santai-santai saja padahal kepala gue rasanya udah mau pecah. Kalo tiap hari kayak gini rasanya gue bisa kena kanker otak.

Pemandangan kota Jakarta dari atas gedung bertingkat memang cukup mengundang decak kagum. Barisan gedung-gedung perkantoran yang berjejer di sepanjang jalan jenderal sudirman tampak jelas. Jalan-jalan arteri dan mobil-mobil terlihat bagai sebuah maket. Di gedung ini orang-orang tampak mondar-mandir dan cuek satu dengan yang lainnya. Semua tampak rapi dengan setelan jas dan kemeja yang licin disetrika. Perempuan mengenakan blazer dan wajahnya pun dihias oleh polesan make up yang cukup tebal. Gue heran juga, kalo gue yang laki-laki dan cuek dengan penampilan saja harus bangun jam empat pagi, mandi dan langsung ngacir supaya nggak kena macet, mereka kira-kira bangun jam berapa ya, kok sempat-sempatnya dandan.

Jakarta memang aneh, orang-orangnya aneh, kantor tempat gue interview lebih aneh lagi. Di ruang resepsionis ada sebuah lobby kecil. Di lobby itu ada dua baris sofa panjang dan meja yang saling berhadapan. Di atas meja tersebut diletakkan beberapa majalah dari dalam dan luar negeri yang disusun rapi. Anehnya orang-orang yang datang tidak boleh duduk di sofa itu. Gue pernah nyoba untuk duduk dan membaca salah satu majalah, tau-tau ada security yang negur dan bilang, “Maaf mas, dilarang duduk di sini. Kalo mau duduk-duduk silakan di ruang tunggu sebelah.” Gue perhatikan bukan hanya gue saja yang ditegur, tapi juga semua orang yang mau duduk di sofa itu. Lha, ngapain ada sofa dan meja di situ kalo kita nggak boleh duduk. Aneh. Mungkin sofa itu hanya boleh diduduki setahun sekali pas malam satu suro. Hiii…ngeri.


 =arca=












Tidak ada komentar:

Posting Komentar